Rabu, 11 September 2013

Hampir Purnama


Hampir purnama, senang rasanya dapat melihatnya seperti ini. Walau hanya ada beberapa bintang saja. Tapi rasanya menyejukkan.
Akhir-akhir ini aku sedikit merasa gelisah. Entahlah, kata-kata itu terus terngiang di ingatanku. Sangat terasa dekat di telinga.
Aku ingat, kurang lebih sebulan yang lalu.
“terus, kita gimana?”
“apanya yang gimana?” aku belum mengerti kemana arah pembicaraan ini
“ya, hubungan kita.”
“oh itu, ga gimana-gimana.”
“masa mau gini-gini za”
Aku menarik nafas. Bingung dan bosan dengan pertanyaan yang itu-itu za. “ya kan, kakak ku za belum nikah. Aku ga bisa ngelangkahin.”
“ya terus mau nunggu sampai kapan?”
“ya ga tau. Tanya za sama kakak ku.” Jawaban yang tidak seharusnya aku ucapkan.
“kalo gini terus, emang ga takut gitu ada yang nyuri?”
“ngga.” Jawabku cepat. “eh, nyuri siapa”
“ya siapa lagi?”
“hm, ya jangan dong. Terus gimana? Mau maksa-maksa kakak ku gitu?”
“ya, ada koq triknya. Bikin rumor za.”
“rumor? Rumor apa? Jangan aneh-aneh deh.”
Perbincangan di telpon itu terus berlanjut, intinya masih selalu sama. Entahlah, aku merasa jenuh dan bosan. Sampai akhirnya ada alasan yang tepat, obrolan kami pun terhenti.
Sejak saat itu, aku jarang sekali menghubunginya. Merasa kembali bebas sepeti dahulu. Aku merasa nyaman, mungkin aku memang terbiasa dengan kesendirian. Saat aku belajar berbai dengan orang lain, mungkin tidak semudah seperti yang ku bayangkan.
Bukan tidak mau atau bagaimana, tapi setiap kali aku mau menghubunginya aku selalu teringat dengan perbincangan terakhir kami itu. Aku terus saja memikirkannya, aku memaknai setiap ucapan yang ku ingat.
Hubungan kedua kalinya yang pernah ku coba. Aku merasa nyaman, sikapnya sangat dewasa saat menyikapi sikap-sikapku yang kekanak-kanakan. Tapi mungkin terlalu dewasa, saat “pernikahan” menjadi topik yang selalu dibahasnya. Awalnya aku merasa senang, karna aku tahu dia memang serius menjalani hubungan ini denganku. Tapi entahlah, planningku untuk menikah itu tidak sedekat yang dia inginkan. Aku mulai tak nyaman. Bukan karna aku tidak ingin menikah dengannya, aku hanya merasa terlalu cepat. Hubungan ini baru berjalan 8 bulan. Masih banyak yang tak ku ketahui tentang dirinya, keluarganya, atau apapun yang ada hubungannya dengan dia.
Pernyataan-pernyataan yang logis, yang terus dia utarakan untuk meyakinkan ku pada awalnya memang berhasil menyentuh hatiku. Tapi tidak lagi.
Kakakku adalah satu faktor terbesar. Aku tidak boleh melangkahinya, sebelum dia menikah. Tapi sepertinya itu adalah alasan terkuatku saja. Karna jauh dalam diri ini, aku belum siap. Aku belum mempersiapkan apapun, untuk menjalin hubungan saja aku susah payah memberanikan diri, tapi untuk hubungan yang seserius pernikahan aku belum sanggup. Aku masih takut keluar dari zona amanku.
Ya, semua ini bukan karna dia, kakakku, atau siapapun. Ini semua karna aku sendiri. Banyak hal yang belum siap aku bagi dengan orang lain. Hal-hal yang menjadi rahasia selama ini. Aku mungkin terlalu egois dengan bersikap seperti ini.
Satu hal yang juga ku pikirkan. Mungkin lebih baik dia memilih wanita lain. Wanita yang lebih siap dari diriku. Ku tak tahu sampai kapan aku seperti ini. Aku tak mau dia menyia-nyiakan waktunya hanya untuk menunggu ketidakpastian yang selalu kuberikan.
Aku terus melihat cahaya rembulan, mencari sesuatu yang sampai kini belum aku temukan.
Satu purnama telah kulewati dalam kesendirian yang tak seperti dulu. Aku memang menikmati setiap kegiatanku, tapi ada rasa yang mengganjal. Aku tidak seharusnya memperlakukan seseorang yang begitu mencintaiku seperti ini. Aku tak pernah menghubunginya. Aku hanya membalas seperlunya, bila dia menghubungi.
Apa yang harus ku lakukan sekarang?
Aku selalu saja teringat telepon itu, apa yang kami bicarakan mengikis sedikit demi sedikit rasa yang ada. Kenapa dia tidak mengerti aku? Tidak, bukan dia yang tidak berusaha mengerti diriku. Tapi aku yang tidak mencoba memberikan pengertian yang tepat. Aku akui, aku yang salah. Tapi aku terus menyangkalnya sampai saat ini.
Kebingungan ini, ku ciptakan sendiri.
Jawaban apa yang ku inginkan, sebenarnya ada. Tapi aku terlalu takut mengambil keputusan.
Ketakutanku terhadap banyak hal yang membuatku selalu seperti ini. Tetap seperti ini.
Ku lelah dengan masalah yang ku timbulkan sendiri.
Angin malam mulai menusuk tubuh ini. Aku masih ingin melihat dewi malam yang senantiasa mendengarkan kisahku. Tapi ku beranjak dan mulai mengistirahatkan tubuh, pikiran, semua. Mungkin esok akan ada keputusan yang ku ambil. Mungkin, bila ku sudah tak ragu dengan hati ini.
Maaf, sikapku ini terlalu egois.